Perselingkuhan
politisi dan pengusaha Indonesia dengan Israel semakin telanjang.
Mereka membutakan diri pada karakter Negara Israel yang tidak bisa
diajak damai kecuali dengan perang.
As
long as the Jewish spirit is yearning deep in the heart; With eyes
turned toward the East, looking toward Zion; Then our hope – the
two-thousand-year-old hope – will not be lost; To be a free people in
our land; The land of Zion and Jerusalem.
Itulah lirik lagu kebangsaan Israel, Hatikvah (Harapan), yang selalu dikumandangkan dalam setiap peringatan hari lahir (Yom Haatzma'ut)
Negara Zionis Israel. Tanpa ‘tedeng aling-aling’, syair lagu itu secara
provokatif mengajak Bangsa Yahudi untuk merebut ‘’Tanah Yang
Dijanjikan’’ (The Promised Land) yaitu Negeri Palestina secara keseluruhan.
Israel
diproklamirkan pada 14 Mei 1948. Tahun ini, Kedutaan Besar Israel di
Singapura menggelar peringatan 64 tahun lahirnya negara Zionis-Israel di
Gedung School of The Arts Singapura pada Kamis, 26 April 2012. Momentum
ini mengikuti perhitungan kalender Yahudi (Iyar).
Nah,
diantara yang hadir dalam peringatan tersebut, tampak sepuluh orang
dari Indonesia. Mereka adalah politikus dari Partai Nasional Demokrat
(Nasdem) bersama istri, tokoh yang diklaim dari organisasi pemuda Islam,
pengusaha, dan pejabat KADIN (Kamar Dagang dan Industri).
Tentu saja Duta Besar Israel untuk Singapura, Amira Arnon, gembira bukan kepalang dengan kehadiran para wakil dari Indonesia.
Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, KH Cholil Ridwan Lc, menjelaskan, Indonesia adalah Negeri Muslim Terbesar di Dunia, sehingga kehadiran tokoh-tokoh Indonesia memberikan legitimasi penting bagi eksistensi Negara Israel.
‘’Kehadiran orang Indonesia itu menunjukkan pengakuan atas kemerdekaan dan eksistensi Negara Zionis Israel. Pantas saja kalau Arnon senang dengan kedatangan mereka,’’ katanya.
Tentu saja Duta Besar Israel untuk Singapura, Amira Arnon, gembira bukan kepalang dengan kehadiran para wakil dari Indonesia.
Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, KH Cholil Ridwan Lc, menjelaskan, Indonesia adalah Negeri Muslim Terbesar di Dunia, sehingga kehadiran tokoh-tokoh Indonesia memberikan legitimasi penting bagi eksistensi Negara Israel.
‘’Kehadiran orang Indonesia itu menunjukkan pengakuan atas kemerdekaan dan eksistensi Negara Zionis Israel. Pantas saja kalau Arnon senang dengan kedatangan mereka,’’ katanya.
Apalagi,
Bangsa Indonesia memiliki lagu khusus untuk peringatan ulang tahun yang
syair-nya berbunyi: Selamat ulang tahun kami ucapkan. Selamat panjang
umur kita kan doakan. Selamat sejahtera sehat sentosa. Selamat panjang
umur dan bahagia.
Seperti dikutip Republika Online (ROL) edisi 30/4, Ferry Mursyidan Baldan mengakui, ia bersama istri memang menghadiri acara Peringatan Hari Kemerdekaan Israel. Politikus Partai Nasdem yang mantan politikus Partai Golkar ini berkilah, ia hanya sebatas memenuhi undangan.
Kehadirannya dalam acara tersebut, kata dia, sebatas membina hubungan baik dan komunikasi dengan kolega. Ia mencontohkan, dirinya bahkan juga sering berkomunikasi dengan beberapa kawan dari Taiwan, FPI, GAM, Thailand Selatan, Selandia Baru, hingga Vatikan. Menurutnya, sebagai politisi yang memiliki latar belakang bidang Hubungan Internasional, wajar saja menjalin komunikasi dengan siapa pun.
Mantan Ketua Umum PB HMI periode 1990-1992 ini juga mengungkapkan, ia pernah melawat ke Israel tiga tahun lalu. “Saya mengunjungi Kota Hebron, Jericho, dan Yerusalem,” ujar Ferry seperti dikutip merdeka.com. Dia juga sempat bertemu sejumlah anggota Knesset (parlemen Israel).
Selanjutnya Ferry mengungkapkan, dalam peringatan HUT Israel di Singapura itu tak ada pembicaraan khusus mengenai rencana Israel membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Seperti dikutip Republika Online (ROL) edisi 30/4, Ferry Mursyidan Baldan mengakui, ia bersama istri memang menghadiri acara Peringatan Hari Kemerdekaan Israel. Politikus Partai Nasdem yang mantan politikus Partai Golkar ini berkilah, ia hanya sebatas memenuhi undangan.
Kehadirannya dalam acara tersebut, kata dia, sebatas membina hubungan baik dan komunikasi dengan kolega. Ia mencontohkan, dirinya bahkan juga sering berkomunikasi dengan beberapa kawan dari Taiwan, FPI, GAM, Thailand Selatan, Selandia Baru, hingga Vatikan. Menurutnya, sebagai politisi yang memiliki latar belakang bidang Hubungan Internasional, wajar saja menjalin komunikasi dengan siapa pun.
Mantan Ketua Umum PB HMI periode 1990-1992 ini juga mengungkapkan, ia pernah melawat ke Israel tiga tahun lalu. “Saya mengunjungi Kota Hebron, Jericho, dan Yerusalem,” ujar Ferry seperti dikutip merdeka.com. Dia juga sempat bertemu sejumlah anggota Knesset (parlemen Israel).
Selanjutnya Ferry mengungkapkan, dalam peringatan HUT Israel di Singapura itu tak ada pembicaraan khusus mengenai rencana Israel membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Menurutnya,
Israel paham mengenai keberpihakan Indonesia pada Palestina. Tapi,
Ferry menyatakan, konflik Israel-Palestina adalah hubungan sebab-akibat.
Seperti halnya Indonesia yang tak mengakui Israel sebagai negara, tentu
ada alasan juga mengapa Israel tak mengakui Palestina sebagai negara.
Karena itu, Ferry secara tersirat mendukung pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel.
Banyak orang Indonesia yang berpikiran pragmatis seperti Ferry. Mereka menganggap, dengan mengakui Israel dan membuka hubungan diplomatik dengannya, Indonesia bisa menjadi mediator proses perdamaian Israel-Palestina. Negeri ini juga bakal diuntungkan dengan kerjasama militer dan perekonomian dari hubungan tersebut.
Kompas edisi 13 September 1993 melansir pernyataan Menhankam Edi Sudradjat yang mengatakan, jika negara-negara Arab telah menjalin hubungan dengan Israel, mengapa Indonesia tidak menyusulnya.
Pada 30 November 2005, dalam rapat kerja dengan Menteri Luar Negeri, anggota Komisi I Slamet Effendi Yusuf menyatakan, Indonesia semestinya mulai memikirkan hubungan diplomatik dengan Israel bila ingin memiliki peran penting dalam penyelesaian damai Israel-Palestina. Bantuan Indonesia dinilainya kurang efektif bila Indonesia tak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.
Situs Tabloid Kristen Reformata (25/8/2011) memuat wawancara dengan Dr Mangandar Situmorang, dosen Hubungan Internasional Curtin University, Australia, yang senada dengan Ferry.
Situmorang bilang, Indonesia harus mengubah mindset yang sudah begitu lama tertanam bahwa Palestina kawan dan Israel adalah lawan. Mindset primordial ini disebabkan afiliasi keagamaan.
Padahal, kata Situmorang, secara de facto hubungan Indonesia-Israel sudah terjalin. ‘’Hubungan Indonesia-Israel saya kira sudah berlangsung sangat lama. Cuma tidak dalam bentuk-bentuk yang bersifat formal atau offisial seperti yang kita ketahui dalam hukum diplomatik. Tapi oleh mekanisme-mekanisme yang sedikit banyaknya dipengaruhi oleh sistem sindikasi ataupun juga dalam format yang lebih luas dari ekonomi liberalis-kapitalis,’’ tuturnya.
Pandangan setipe itu dikemukakan Panji Gumilang. Pada 25 Maret lalu, di hadapan Menteri Agama Suryadharma Ali, bos Pesantren Al Zaytun tersebut mengusulkan perlunya dibuka hubungan diplomatik Indonesia-Israel. Panji bilang, Israel bukanlah penjajah. Israel hanya berusaha membagi dua wilayah menjadi milik Israel dan Palestina yang sama-sama berdaulat.
Karena itu, Ferry secara tersirat mendukung pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel.
Banyak orang Indonesia yang berpikiran pragmatis seperti Ferry. Mereka menganggap, dengan mengakui Israel dan membuka hubungan diplomatik dengannya, Indonesia bisa menjadi mediator proses perdamaian Israel-Palestina. Negeri ini juga bakal diuntungkan dengan kerjasama militer dan perekonomian dari hubungan tersebut.
Kompas edisi 13 September 1993 melansir pernyataan Menhankam Edi Sudradjat yang mengatakan, jika negara-negara Arab telah menjalin hubungan dengan Israel, mengapa Indonesia tidak menyusulnya.
Pada 30 November 2005, dalam rapat kerja dengan Menteri Luar Negeri, anggota Komisi I Slamet Effendi Yusuf menyatakan, Indonesia semestinya mulai memikirkan hubungan diplomatik dengan Israel bila ingin memiliki peran penting dalam penyelesaian damai Israel-Palestina. Bantuan Indonesia dinilainya kurang efektif bila Indonesia tak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.
Situs Tabloid Kristen Reformata (25/8/2011) memuat wawancara dengan Dr Mangandar Situmorang, dosen Hubungan Internasional Curtin University, Australia, yang senada dengan Ferry.
Situmorang bilang, Indonesia harus mengubah mindset yang sudah begitu lama tertanam bahwa Palestina kawan dan Israel adalah lawan. Mindset primordial ini disebabkan afiliasi keagamaan.
Padahal, kata Situmorang, secara de facto hubungan Indonesia-Israel sudah terjalin. ‘’Hubungan Indonesia-Israel saya kira sudah berlangsung sangat lama. Cuma tidak dalam bentuk-bentuk yang bersifat formal atau offisial seperti yang kita ketahui dalam hukum diplomatik. Tapi oleh mekanisme-mekanisme yang sedikit banyaknya dipengaruhi oleh sistem sindikasi ataupun juga dalam format yang lebih luas dari ekonomi liberalis-kapitalis,’’ tuturnya.
Pandangan setipe itu dikemukakan Panji Gumilang. Pada 25 Maret lalu, di hadapan Menteri Agama Suryadharma Ali, bos Pesantren Al Zaytun tersebut mengusulkan perlunya dibuka hubungan diplomatik Indonesia-Israel. Panji bilang, Israel bukanlah penjajah. Israel hanya berusaha membagi dua wilayah menjadi milik Israel dan Palestina yang sama-sama berdaulat.
Amerika
dan Israel juga ngebet agar Indonesia berhubungan resmi dengan Israel.
Misalnya, dalam kunjungannya ke Jakarta pada Pebruari 1994, lima senator
AS mendesak Indonesia agar segera membuka hubungan dengan Israel.
Pada September 2006, Menlu Hassan bertemu Menlu Israel Silvan Shalom di sela-sela acara ulang tahun PBB ke-60, di New York, AS. Menlu Israel membawa pesan PM Israel, Ehud Olmert, yang mensyaratkan pengakuan terhadap kedaulatan Israel bila Indonesia dan Malaysia hendak mengirimkan pasukan untuk bergabung dalam pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Lebanon (UNIFIL).
Namun, jumhur Bangsa Indonesia yang masih waras, menolak hubungan diplomatik dengan Israel. Menurut Sekjen Forum Umat Islam, KH Muhammad Al Khaththath, Pemerintah Indonesia menanggung 5 dosa besar (itsmun kabiir) bila membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Pada September 2006, Menlu Hassan bertemu Menlu Israel Silvan Shalom di sela-sela acara ulang tahun PBB ke-60, di New York, AS. Menlu Israel membawa pesan PM Israel, Ehud Olmert, yang mensyaratkan pengakuan terhadap kedaulatan Israel bila Indonesia dan Malaysia hendak mengirimkan pasukan untuk bergabung dalam pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Lebanon (UNIFIL).
Namun, jumhur Bangsa Indonesia yang masih waras, menolak hubungan diplomatik dengan Israel. Menurut Sekjen Forum Umat Islam, KH Muhammad Al Khaththath, Pemerintah Indonesia menanggung 5 dosa besar (itsmun kabiir) bila membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Pertama,
mengkhianati amanat Pembukaan UUD ’45, yang menegaskan bahwa Indonesia
menentang segala bentuk penjajahan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.
Seperti dikutip Paul Findley dalam bukunya Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship (1993, yang diterjemahkan sebagai Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel, Penerbit Mizan, 1995), di tengah-tengah perang 1948, diplomat Inggris Sir Hugh Dow melaporkan: "Orang-orang Yahudi itu jelas ekspansionis."
Seperti dikutip Paul Findley dalam bukunya Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship (1993, yang diterjemahkan sebagai Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel, Penerbit Mizan, 1995), di tengah-tengah perang 1948, diplomat Inggris Sir Hugh Dow melaporkan: "Orang-orang Yahudi itu jelas ekspansionis."
Deklarasi
Kemerdekaan Israel tidak menyebutkan adanya perbatasan, dan negara
Yahudi tidak pernah secara terbuka menyatakan batas-batasnya.
Israel memiliki setidaknya 4 Undang-Undang yang diskriminatif terhadap Arab. UU ini membebaskan orang Yahudi masuk Israel dan Palestina, dan sebaliknya mempersulit orang Arab Muslim. Melalui UU ini, warga Arab Muslim Palestina juga gampang terbuang ke luar negerinya.
Israel memiliki setidaknya 4 Undang-Undang yang diskriminatif terhadap Arab. UU ini membebaskan orang Yahudi masuk Israel dan Palestina, dan sebaliknya mempersulit orang Arab Muslim. Melalui UU ini, warga Arab Muslim Palestina juga gampang terbuang ke luar negerinya.
UU itu adalah UU Kembali (Law of Return), Undang-undang Masuk Israel 1952 (Law of Entry), Undang-undang Kewarga-negaraan 1952 (The Citizenship Laws), dan Law of Absentees 1965.
Israel
tak pernah menyerahkan satu bagian penting pun dari tanah yang
direbutnya pada 1948 di luar perbatasan-perbatasan yang ditetapkan
Rencana Pembagian PBB. Rencana itu membatasi luas negara Yahudi hingga
5.893 mil persegi (56,47% Palestina). Namun, jelang akhir perang 1948
Israel menguasai daerah seluas 8.000 mil persegi (77,4%).
Hal itu ditegaskan Menteri Pertahanan Moshe Dayan pada satu kelas yang berisi para pelajar Israel pada 1969: "Tidak ada satu tempat pun yang dibangun di negeri ini yang sebelumnya tidak dihuni oleh penduduk Arab."
Peringatan HUT Israel 2012 ditandai dengan legalisasi tiga pemukiman Yahudi di Tepi Barat yaitu di Sansana, Rechelim dan Bruchi.
Peresmian pencaplokan wilayah Palestina itu disampaikan Kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Senin (23/4/2012), sebagaimana dimuat situs resmi mereka.
Hal itu ditegaskan Menteri Pertahanan Moshe Dayan pada satu kelas yang berisi para pelajar Israel pada 1969: "Tidak ada satu tempat pun yang dibangun di negeri ini yang sebelumnya tidak dihuni oleh penduduk Arab."
Peringatan HUT Israel 2012 ditandai dengan legalisasi tiga pemukiman Yahudi di Tepi Barat yaitu di Sansana, Rechelim dan Bruchi.
Peresmian pencaplokan wilayah Palestina itu disampaikan Kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Senin (23/4/2012), sebagaimana dimuat situs resmi mereka.
CNN
(24/4/2012) juga menyiarkan, Pemerintah Israel telah memutuskan untuk
melegalkan status tiga pos pemukiman yang dibangun di Tepi Barat pada
1990 itu.
Legalisasi itu berarti Israel mengunci harapan menghidupkan kembali proses perdamaian. “Pemerintah Israel harus membuat pilihan antara permukiman dan perdamaian. Mereka tidak bisa memiliki keduanya,” kata Saeb Erekat, negosiator Palestina.
Palestina kemudian mengirimkan surat resmi ke Dewan Keamanan dan Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk mengutuk pengesahan pemukiman Yahudi di ketiga wilayah tadi.
Namun, Israel sudah mengamankan langkahnya. Akhir Maret lalu, Israel sudah memutuskan bekerjasama dengan badan-badan PBB. Kementerian Luar Negeri Israel mengatakan kepada perwakilannya di Jenewa untuk tidak bekerja sama dengan Dewan HAM PBB maupun Komisaris HAM PBB, Navi Pillay (BBC 26/3/2012). Israel juga melarang Tim PBB memasuki negeri itu untuk mengkaji dampak pemukiman Yahudi terhadap hak-hak Palestina.
Kedua, pembukaan diplomatik juga bertentangan dengan prinsip-prinsip Gerakan Non-Blok, di mana Indonesia menjadi salah satu anggotanya. Karena, membuka hubungan diplomatik berarti mengakui eksistensi kolonialisme serta menyakiti perasaan umat Islam sedunia, umat Islam Indonesia khususnya.
Ketiga, Israel tidak pernah mau menaati Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 242 dan 338. Inti kedua resolusi tersebut adalah meminta Israel mundur dari seluruh wilayah yang didudukinya dalam perang tahun 1967.
Keempat, pembukaan hubungan tidak sejalan dengan prinsip perjuangan Organisasi Konferensi Islam (OKI), di mana Indonesia salah satu anggotanya. Dalam KTT OKI Ke-6 di Dakar, Senegal, tahun 1991, misalnya, komunike sidang menegaskan, ”Perdamaian hanya dapat ditegakkan dengan memberikan hak menentukan nasib sendiri kepada rakyat Palestina dan penarikan tanpa syarat pasukan pendudukan Israel dari seluruh wilayah Arab yang diduduki, termasuk Al Quds Al-Syarif, Dataran Tinggi Golan, dan Lebanon Selatan.”
Selain itu, kaum Yahudi Israel menganut prinsip ‘’Fives No’’ (Lima Tidak): Satu, tidak akan berhenti membangun permukiman. Dua, tidak ada negara Palestina merdeka sepenuhnya. Tiga, tidak akan menarik diri dari penjajahan ’67 (meliputi Dataran Tinggi Golan di Suriah, penjajahan Lebanon Selatan, dan sebagian wilayah di Jordania). Empat, tidak menyerahkan Quds (Quds ibu kota abadi Israel). Lima, tidak ada pengembalian pengungsi Palestina ke Israel (lebih dari 4 juta warga Palestina terlunta menjadi pengungsi). Lima prinsip ini senantiasa menjadi pegangan setiap PM Israel.
Menyusul agresi Israel ke Gaza pada 2009, Dr Qaradhawi kembali menyeru agar kaum muslimin tidak membiarkan kebrutalan Negara Yahudi. Ulama ini menyerukan jihad untuk menghentikan Israel.
Syeikh Al Azhar Kairo yang biasanya lunak, bahkan sampai kesimpulan bahwa Israel memang hanya dapat dihadapi dengan bahasa senjata. Buktinya, segala model ‘’jalan damai’’ buat Israel dan Palestina, akhirnya memang omong kosong belaka. Sejak Perjanjian Camp David I (1978), Perjanjian Oslo atau Deklarasi Prinsip-prinsip (13 September 1993), Implementasi Kesepakatan Oslo (4 Mei 1994), Perjanjian Wye River (24 Oktober 1998), Kesepakatan Wye River II (5 September 1999), Dokumen Stockholm (Juni 2000), KTT Camp David II (11-25 Juli 2000), sampai ‘’Peta Jalan Damai’’, semuanya berujung pada pembangkangan Israel.
Legalisasi itu berarti Israel mengunci harapan menghidupkan kembali proses perdamaian. “Pemerintah Israel harus membuat pilihan antara permukiman dan perdamaian. Mereka tidak bisa memiliki keduanya,” kata Saeb Erekat, negosiator Palestina.
Palestina kemudian mengirimkan surat resmi ke Dewan Keamanan dan Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk mengutuk pengesahan pemukiman Yahudi di ketiga wilayah tadi.
Namun, Israel sudah mengamankan langkahnya. Akhir Maret lalu, Israel sudah memutuskan bekerjasama dengan badan-badan PBB. Kementerian Luar Negeri Israel mengatakan kepada perwakilannya di Jenewa untuk tidak bekerja sama dengan Dewan HAM PBB maupun Komisaris HAM PBB, Navi Pillay (BBC 26/3/2012). Israel juga melarang Tim PBB memasuki negeri itu untuk mengkaji dampak pemukiman Yahudi terhadap hak-hak Palestina.
Kedua, pembukaan diplomatik juga bertentangan dengan prinsip-prinsip Gerakan Non-Blok, di mana Indonesia menjadi salah satu anggotanya. Karena, membuka hubungan diplomatik berarti mengakui eksistensi kolonialisme serta menyakiti perasaan umat Islam sedunia, umat Islam Indonesia khususnya.
Ketiga, Israel tidak pernah mau menaati Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 242 dan 338. Inti kedua resolusi tersebut adalah meminta Israel mundur dari seluruh wilayah yang didudukinya dalam perang tahun 1967.
Keempat, pembukaan hubungan tidak sejalan dengan prinsip perjuangan Organisasi Konferensi Islam (OKI), di mana Indonesia salah satu anggotanya. Dalam KTT OKI Ke-6 di Dakar, Senegal, tahun 1991, misalnya, komunike sidang menegaskan, ”Perdamaian hanya dapat ditegakkan dengan memberikan hak menentukan nasib sendiri kepada rakyat Palestina dan penarikan tanpa syarat pasukan pendudukan Israel dari seluruh wilayah Arab yang diduduki, termasuk Al Quds Al-Syarif, Dataran Tinggi Golan, dan Lebanon Selatan.”
Selain itu, kaum Yahudi Israel menganut prinsip ‘’Fives No’’ (Lima Tidak): Satu, tidak akan berhenti membangun permukiman. Dua, tidak ada negara Palestina merdeka sepenuhnya. Tiga, tidak akan menarik diri dari penjajahan ’67 (meliputi Dataran Tinggi Golan di Suriah, penjajahan Lebanon Selatan, dan sebagian wilayah di Jordania). Empat, tidak menyerahkan Quds (Quds ibu kota abadi Israel). Lima, tidak ada pengembalian pengungsi Palestina ke Israel (lebih dari 4 juta warga Palestina terlunta menjadi pengungsi). Lima prinsip ini senantiasa menjadi pegangan setiap PM Israel.
Menyusul agresi Israel ke Gaza pada 2009, Dr Qaradhawi kembali menyeru agar kaum muslimin tidak membiarkan kebrutalan Negara Yahudi. Ulama ini menyerukan jihad untuk menghentikan Israel.
Syeikh Al Azhar Kairo yang biasanya lunak, bahkan sampai kesimpulan bahwa Israel memang hanya dapat dihadapi dengan bahasa senjata. Buktinya, segala model ‘’jalan damai’’ buat Israel dan Palestina, akhirnya memang omong kosong belaka. Sejak Perjanjian Camp David I (1978), Perjanjian Oslo atau Deklarasi Prinsip-prinsip (13 September 1993), Implementasi Kesepakatan Oslo (4 Mei 1994), Perjanjian Wye River (24 Oktober 1998), Kesepakatan Wye River II (5 September 1999), Dokumen Stockholm (Juni 2000), KTT Camp David II (11-25 Juli 2000), sampai ‘’Peta Jalan Damai’’, semuanya berujung pada pembangkangan Israel.
Sunarsip, direktur Center for Indonesia Reform, melalui sebuah artikelnya di Republika, pernah mengemukakan 5 jurus cegah-tangkal masuknya proxy (penguasaan) Yahudi di Indonesia.
Pertama, jangan berikan ‘'tanah'’ kepada kaum Yahudi, meskipun itu hanya sebidang. Tak hanya secara harfiah, tapi juga bermakna konotasi wilayah usaha. Seperti dilakukan Tokoh Zionisme Theodore Herzl yang pada 1896 membujuk Khalifah Turki Sultan Hamid II untuk menjual tanah ke Yahudi. Herzl menjanjikan bantuan keuangan untuk memulihkan kas kesultanan yang sedang kosong melalui para finansir Yahudi. Rayuan Herzl ditolak mentah-mentah oleh Sultan Hamid II.
Pintu kedua, jangan terlibat terlalu jauh dengan gerakan berlabel liberalisasi dan demokratisasi ekonomi. ‘’Sesungguhnya, konsep liberalisasi dan demokratisasi tidak lebih dari sebuah slogan yang diciptakan Yahudi dengan tujuan untuk memudahkan mereka memasuki wilayah suatu negara secara bebas,’’ tulis Sunarsip.
Pintu ketiga, tutup gerak setiap kapitalis Yahudi untuk menguasai sektor perbankan. Presiden AS Thomas Jefferson, pada 1809 mengatakan di Senat AS: "Saya percaya institusi perbankan itu lebih membahayakan kebebasan kita daripada tentara kolonial. Kalau saja rakyat AS sampai mengizinkan bank-bank swasta milik Yahudi menguasai perputaran uang, pertama melalui inflasi, kemudian melalui deflasi, maka bank-bank dan korporasi yang tumbuh di sekitar bank-bank tersebut itulah yang mampu merebut kekayaan rakyat sehingga ketika anak-anak kita bangun di suatu pagi, mereka tidak lagi memiliki harta kekayaan dan rumah-rumah yang dibangun oleh Bapak-bapak pendiri negeri ini."
Pintu keempat, jangan biarkan kaum kapitalis Yahudi menguasai bank sentral. Ia bakal jadi "negara" dalam negara tuan rumah. Seperti dikatakan pendiri dinasti Yahudi Rothschilds, Mayer Amschel Rothschilds (1743-1812): "Berikan kepada saya kesempatan mencetak uang dan mengendalikan keuangan suatu bangsa, maka dengan itu saya tidak akan peduli dengan siapa yang membuat hukum di negeri itu".
Kelima, jangan terjebak utang IMF, yang dikuasai Yahudi. Penelitian yang dilakukan Johnson dan Schaefer (1997) selama tahun 1965-1995 menunjukkan, perekonomian 48 dari 89 negara berkembang yang menerima bantuan IMF tidak menjadi lebih maju.
Pertama, jangan berikan ‘'tanah'’ kepada kaum Yahudi, meskipun itu hanya sebidang. Tak hanya secara harfiah, tapi juga bermakna konotasi wilayah usaha. Seperti dilakukan Tokoh Zionisme Theodore Herzl yang pada 1896 membujuk Khalifah Turki Sultan Hamid II untuk menjual tanah ke Yahudi. Herzl menjanjikan bantuan keuangan untuk memulihkan kas kesultanan yang sedang kosong melalui para finansir Yahudi. Rayuan Herzl ditolak mentah-mentah oleh Sultan Hamid II.
Pintu kedua, jangan terlibat terlalu jauh dengan gerakan berlabel liberalisasi dan demokratisasi ekonomi. ‘’Sesungguhnya, konsep liberalisasi dan demokratisasi tidak lebih dari sebuah slogan yang diciptakan Yahudi dengan tujuan untuk memudahkan mereka memasuki wilayah suatu negara secara bebas,’’ tulis Sunarsip.
Pintu ketiga, tutup gerak setiap kapitalis Yahudi untuk menguasai sektor perbankan. Presiden AS Thomas Jefferson, pada 1809 mengatakan di Senat AS: "Saya percaya institusi perbankan itu lebih membahayakan kebebasan kita daripada tentara kolonial. Kalau saja rakyat AS sampai mengizinkan bank-bank swasta milik Yahudi menguasai perputaran uang, pertama melalui inflasi, kemudian melalui deflasi, maka bank-bank dan korporasi yang tumbuh di sekitar bank-bank tersebut itulah yang mampu merebut kekayaan rakyat sehingga ketika anak-anak kita bangun di suatu pagi, mereka tidak lagi memiliki harta kekayaan dan rumah-rumah yang dibangun oleh Bapak-bapak pendiri negeri ini."
Pintu keempat, jangan biarkan kaum kapitalis Yahudi menguasai bank sentral. Ia bakal jadi "negara" dalam negara tuan rumah. Seperti dikatakan pendiri dinasti Yahudi Rothschilds, Mayer Amschel Rothschilds (1743-1812): "Berikan kepada saya kesempatan mencetak uang dan mengendalikan keuangan suatu bangsa, maka dengan itu saya tidak akan peduli dengan siapa yang membuat hukum di negeri itu".
Kelima, jangan terjebak utang IMF, yang dikuasai Yahudi. Penelitian yang dilakukan Johnson dan Schaefer (1997) selama tahun 1965-1995 menunjukkan, perekonomian 48 dari 89 negara berkembang yang menerima bantuan IMF tidak menjadi lebih maju.
Sumber: http://suara-islam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar