Perselingkuhan
politisi dan pengusaha Indonesia dengan Israel semakin telanjang.
Mereka membutakan diri pada karakter Negara Israel yang tidak bisa
diajak damai kecuali dengan perang.
As
long as the Jewish spirit is yearning deep in the heart; With eyes
turned toward the East, looking toward Zion; Then our hope – the
two-thousand-year-old hope – will not be lost; To be a free people in
our land; The land of Zion and Jerusalem.
Itulah lirik lagu kebangsaan Israel, Hatikvah (Harapan), yang selalu dikumandangkan dalam setiap peringatan hari lahir (Yom Haatzma'ut)
Negara Zionis Israel. Tanpa ‘tedeng aling-aling’, syair lagu itu secara
provokatif mengajak Bangsa Yahudi untuk merebut ‘’Tanah Yang
Dijanjikan’’ (The Promised Land) yaitu Negeri Palestina secara keseluruhan.
Israel
diproklamirkan pada 14 Mei 1948. Tahun ini, Kedutaan Besar Israel di
Singapura menggelar peringatan 64 tahun lahirnya negara Zionis-Israel di
Gedung School of The Arts Singapura pada Kamis, 26 April 2012. Momentum
ini mengikuti perhitungan kalender Yahudi (Iyar).
Nah,
diantara yang hadir dalam peringatan tersebut, tampak sepuluh orang
dari Indonesia. Mereka adalah politikus dari Partai Nasional Demokrat
(Nasdem) bersama istri, tokoh yang diklaim dari organisasi pemuda Islam,
pengusaha, dan pejabat KADIN (Kamar Dagang dan Industri).
Tentu saja Duta Besar Israel untuk Singapura, Amira Arnon, gembira bukan kepalang dengan kehadiran para wakil dari Indonesia.
Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, KH
Cholil Ridwan Lc, menjelaskan, Indonesia adalah Negeri Muslim Terbesar
di Dunia, sehingga kehadiran tokoh-tokoh Indonesia memberikan legitimasi
penting bagi eksistensi Negara Israel.
‘’Kehadiran orang Indonesia itu menunjukkan pengakuan atas kemerdekaan
dan eksistensi Negara Zionis Israel. Pantas saja kalau Arnon senang
dengan kedatangan mereka,’’ katanya.
Apalagi,
Bangsa Indonesia memiliki lagu khusus untuk peringatan ulang tahun yang
syair-nya berbunyi: Selamat ulang tahun kami ucapkan. Selamat panjang
umur kita kan doakan. Selamat sejahtera sehat sentosa. Selamat panjang
umur dan bahagia.
Seperti dikutip Republika Online (ROL) edisi 30/4, Ferry
Mursyidan Baldan mengakui, ia bersama istri memang menghadiri acara
Peringatan Hari Kemerdekaan Israel. Politikus Partai Nasdem yang mantan
politikus Partai Golkar ini berkilah, ia hanya sebatas memenuhi
undangan.
Kehadirannya dalam acara tersebut, kata dia, sebatas membina hubungan
baik dan komunikasi dengan kolega. Ia mencontohkan, dirinya bahkan juga
sering berkomunikasi dengan beberapa kawan dari Taiwan, FPI, GAM,
Thailand Selatan, Selandia Baru, hingga Vatikan. Menurutnya, sebagai
politisi yang memiliki latar belakang bidang Hubungan Internasional,
wajar saja menjalin komunikasi dengan siapa pun.
Mantan Ketua Umum PB HMI periode 1990-1992 ini juga mengungkapkan, ia
pernah melawat ke Israel tiga tahun lalu. “Saya mengunjungi Kota Hebron,
Jericho, dan Yerusalem,” ujar Ferry seperti dikutip merdeka.com. Dia juga sempat bertemu sejumlah anggota Knesset (parlemen Israel).
Selanjutnya Ferry mengungkapkan, dalam peringatan HUT Israel di
Singapura itu tak ada pembicaraan khusus mengenai rencana Israel membuka
hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Menurutnya,
Israel paham mengenai keberpihakan Indonesia pada Palestina. Tapi,
Ferry menyatakan, konflik Israel-Palestina adalah hubungan sebab-akibat.
Seperti halnya Indonesia yang tak mengakui Israel sebagai negara, tentu
ada alasan juga mengapa Israel tak mengakui Palestina sebagai negara.
Karena itu, Ferry secara tersirat mendukung pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel.
Banyak orang Indonesia yang berpikiran pragmatis seperti Ferry. Mereka
menganggap, dengan mengakui Israel dan membuka hubungan diplomatik
dengannya, Indonesia bisa menjadi mediator proses perdamaian
Israel-Palestina. Negeri ini juga bakal diuntungkan dengan kerjasama
militer dan perekonomian dari hubungan tersebut.
Kompas edisi 13 September 1993 melansir pernyataan Menhankam Edi
Sudradjat yang mengatakan, jika negara-negara Arab telah menjalin
hubungan dengan Israel, mengapa Indonesia tidak menyusulnya.
Pada 30 November 2005, dalam rapat kerja dengan Menteri Luar Negeri,
anggota Komisi I Slamet Effendi Yusuf menyatakan, Indonesia semestinya
mulai memikirkan hubungan diplomatik dengan Israel bila ingin memiliki
peran penting dalam penyelesaian damai Israel-Palestina. Bantuan
Indonesia dinilainya kurang efektif bila Indonesia tak memiliki hubungan
diplomatik dengan Israel.
Situs Tabloid Kristen Reformata (25/8/2011) memuat wawancara
dengan Dr Mangandar Situmorang, dosen Hubungan Internasional Curtin
University, Australia, yang senada dengan Ferry.
Situmorang bilang, Indonesia harus mengubah mindset yang sudah begitu
lama tertanam bahwa Palestina kawan dan Israel adalah lawan. Mindset
primordial ini disebabkan afiliasi keagamaan.
Padahal, kata Situmorang, secara de facto hubungan
Indonesia-Israel sudah terjalin. ‘’Hubungan Indonesia-Israel saya kira
sudah berlangsung sangat lama. Cuma tidak dalam bentuk-bentuk yang
bersifat formal atau offisial seperti yang kita ketahui dalam hukum
diplomatik. Tapi oleh mekanisme-mekanisme yang sedikit banyaknya
dipengaruhi oleh sistem sindikasi ataupun juga dalam format yang lebih
luas dari ekonomi liberalis-kapitalis,’’ tuturnya.
Pandangan setipe itu dikemukakan Panji Gumilang. Pada 25 Maret lalu, di
hadapan Menteri Agama Suryadharma Ali, bos Pesantren Al Zaytun tersebut
mengusulkan perlunya dibuka hubungan diplomatik Indonesia-Israel. Panji
bilang, Israel bukanlah penjajah. Israel hanya berusaha membagi dua
wilayah menjadi milik Israel dan Palestina yang sama-sama berdaulat.
Amerika
dan Israel juga ngebet agar Indonesia berhubungan resmi dengan Israel.
Misalnya, dalam kunjungannya ke Jakarta pada Pebruari 1994, lima senator
AS mendesak Indonesia agar segera membuka hubungan dengan Israel.
Pada September 2006, Menlu Hassan bertemu Menlu Israel Silvan Shalom di
sela-sela acara ulang tahun PBB ke-60, di New York, AS. Menlu Israel
membawa pesan PM Israel, Ehud Olmert, yang mensyaratkan pengakuan
terhadap kedaulatan Israel bila Indonesia dan Malaysia hendak
mengirimkan pasukan untuk bergabung dalam pasukan perdamaian
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Lebanon (UNIFIL).
Namun, jumhur Bangsa Indonesia yang masih waras, menolak hubungan
diplomatik dengan Israel. Menurut Sekjen Forum Umat Islam, KH Muhammad
Al Khaththath, Pemerintah Indonesia menanggung 5 dosa besar (itsmun kabiir) bila membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Pertama,
mengkhianati amanat Pembukaan UUD ’45, yang menegaskan bahwa Indonesia
menentang segala bentuk penjajahan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.
Seperti dikutip Paul Findley dalam bukunya Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship (1993,
yang diterjemahkan sebagai Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap
Fakta Hubungan AS-Israel, Penerbit Mizan, 1995), di tengah-tengah perang
1948, diplomat Inggris Sir Hugh Dow melaporkan: "Orang-orang Yahudi itu
jelas ekspansionis."
Deklarasi
Kemerdekaan Israel tidak menyebutkan adanya perbatasan, dan negara
Yahudi tidak pernah secara terbuka menyatakan batas-batasnya.
Israel memiliki setidaknya 4 Undang-Undang yang diskriminatif terhadap
Arab. UU ini membebaskan orang Yahudi masuk Israel dan Palestina, dan
sebaliknya mempersulit orang Arab Muslim. Melalui UU ini, warga Arab
Muslim Palestina juga gampang terbuang ke luar negerinya.
UU itu adalah UU Kembali (Law of Return), Undang-undang Masuk Israel 1952 (Law of Entry), Undang-undang Kewarga-negaraan 1952 (The Citizenship Laws), dan Law of Absentees 1965.
Israel
tak pernah menyerahkan satu bagian penting pun dari tanah yang
direbutnya pada 1948 di luar perbatasan-perbatasan yang ditetapkan
Rencana Pembagian PBB. Rencana itu membatasi luas negara Yahudi hingga
5.893 mil persegi (56,47% Palestina). Namun, jelang akhir perang 1948
Israel menguasai daerah seluas 8.000 mil persegi (77,4%).
Hal itu ditegaskan Menteri Pertahanan Moshe Dayan pada satu kelas yang
berisi para pelajar Israel pada 1969: "Tidak ada satu tempat pun yang
dibangun di negeri ini yang sebelumnya tidak dihuni oleh penduduk Arab."
Peringatan HUT Israel 2012 ditandai dengan legalisasi tiga pemukiman
Yahudi di Tepi Barat yaitu di Sansana, Rechelim dan Bruchi.
Peresmian pencaplokan wilayah Palestina itu disampaikan Kantor Perdana
Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Senin (23/4/2012), sebagaimana
dimuat situs resmi mereka.
CNN
(24/4/2012) juga menyiarkan, Pemerintah Israel telah memutuskan untuk
melegalkan status tiga pos pemukiman yang dibangun di Tepi Barat pada
1990 itu.
Legalisasi itu berarti Israel mengunci harapan menghidupkan kembali
proses perdamaian. “Pemerintah Israel harus membuat pilihan antara
permukiman dan perdamaian. Mereka tidak bisa memiliki keduanya,” kata
Saeb Erekat, negosiator Palestina.
Palestina kemudian mengirimkan surat resmi ke Dewan Keamanan dan Majelis
Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk mengutuk pengesahan
pemukiman Yahudi di ketiga wilayah tadi.
Namun, Israel sudah mengamankan langkahnya. Akhir Maret lalu, Israel
sudah memutuskan bekerjasama dengan badan-badan PBB. Kementerian Luar
Negeri Israel mengatakan kepada perwakilannya di Jenewa untuk tidak
bekerja sama dengan Dewan HAM PBB maupun Komisaris HAM PBB, Navi Pillay
(BBC 26/3/2012). Israel juga melarang Tim PBB memasuki negeri itu untuk
mengkaji dampak pemukiman Yahudi terhadap hak-hak Palestina.
Kedua, pembukaan diplomatik juga bertentangan dengan prinsip-prinsip
Gerakan Non-Blok, di mana Indonesia menjadi salah satu anggotanya.
Karena, membuka hubungan diplomatik berarti mengakui eksistensi
kolonialisme serta menyakiti perasaan umat Islam sedunia, umat Islam
Indonesia khususnya.
Ketiga, Israel tidak pernah mau menaati Resolusi Dewan Keamanan PBB
Nomor 242 dan 338. Inti kedua resolusi tersebut adalah meminta Israel
mundur dari seluruh wilayah yang didudukinya dalam perang tahun 1967.
Keempat, pembukaan hubungan tidak sejalan dengan prinsip perjuangan
Organisasi Konferensi Islam (OKI), di mana Indonesia salah satu
anggotanya. Dalam KTT OKI Ke-6 di Dakar, Senegal, tahun 1991, misalnya,
komunike sidang menegaskan, ”Perdamaian hanya dapat ditegakkan dengan
memberikan hak menentukan nasib sendiri kepada rakyat Palestina dan
penarikan tanpa syarat pasukan pendudukan Israel dari seluruh wilayah
Arab yang diduduki, termasuk Al Quds Al-Syarif, Dataran Tinggi Golan,
dan Lebanon Selatan.”
Selain itu, kaum Yahudi Israel menganut prinsip ‘’Fives No’’ (Lima
Tidak): Satu, tidak akan berhenti membangun permukiman. Dua, tidak ada
negara Palestina merdeka sepenuhnya. Tiga, tidak akan menarik diri dari
penjajahan ’67 (meliputi Dataran Tinggi Golan di Suriah, penjajahan
Lebanon Selatan, dan sebagian wilayah di Jordania). Empat, tidak
menyerahkan Quds (Quds ibu kota abadi Israel). Lima, tidak ada
pengembalian pengungsi Palestina ke Israel (lebih dari 4 juta warga
Palestina terlunta menjadi pengungsi). Lima prinsip ini senantiasa
menjadi pegangan setiap PM Israel.
Menyusul agresi Israel ke Gaza pada 2009, Dr Qaradhawi kembali menyeru
agar kaum muslimin tidak membiarkan kebrutalan Negara Yahudi. Ulama ini
menyerukan jihad untuk menghentikan Israel.
Syeikh Al Azhar Kairo yang biasanya lunak, bahkan sampai kesimpulan
bahwa Israel memang hanya dapat dihadapi dengan bahasa senjata.
Buktinya, segala model ‘’jalan damai’’ buat Israel dan Palestina,
akhirnya memang omong kosong belaka. Sejak Perjanjian Camp David I
(1978), Perjanjian Oslo atau Deklarasi Prinsip-prinsip (13 September
1993), Implementasi Kesepakatan Oslo (4 Mei 1994), Perjanjian Wye River
(24 Oktober 1998), Kesepakatan Wye River II (5 September 1999), Dokumen
Stockholm (Juni 2000), KTT Camp David II (11-25 Juli 2000), sampai
‘’Peta Jalan Damai’’, semuanya berujung pada pembangkangan Israel.
Sunarsip, direktur Center for Indonesia Reform, melalui sebuah artikelnya di Republika, pernah mengemukakan 5 jurus cegah-tangkal masuknya proxy (penguasaan) Yahudi di Indonesia.
Pertama, jangan berikan ‘'tanah'’ kepada kaum Yahudi, meskipun itu hanya
sebidang. Tak hanya secara harfiah, tapi juga bermakna konotasi wilayah
usaha. Seperti dilakukan Tokoh Zionisme Theodore Herzl yang pada 1896
membujuk Khalifah Turki Sultan Hamid II untuk menjual tanah ke Yahudi.
Herzl menjanjikan bantuan keuangan untuk memulihkan kas kesultanan yang
sedang kosong melalui para finansir Yahudi. Rayuan Herzl ditolak
mentah-mentah oleh Sultan Hamid II.
Pintu kedua, jangan terlibat terlalu jauh dengan gerakan berlabel
liberalisasi dan demokratisasi ekonomi. ‘’Sesungguhnya, konsep
liberalisasi dan demokratisasi tidak lebih dari sebuah slogan yang
diciptakan Yahudi dengan tujuan untuk memudahkan mereka memasuki wilayah
suatu negara secara bebas,’’ tulis Sunarsip.
Pintu ketiga, tutup gerak setiap kapitalis Yahudi untuk menguasai sektor
perbankan. Presiden AS Thomas Jefferson, pada 1809 mengatakan di Senat
AS: "Saya percaya institusi perbankan itu lebih membahayakan kebebasan
kita daripada tentara kolonial. Kalau saja rakyat AS sampai mengizinkan
bank-bank swasta milik Yahudi menguasai perputaran uang, pertama melalui
inflasi, kemudian melalui deflasi, maka bank-bank dan korporasi yang
tumbuh di sekitar bank-bank tersebut itulah yang mampu merebut kekayaan
rakyat sehingga ketika anak-anak kita bangun di suatu pagi, mereka tidak
lagi memiliki harta kekayaan dan rumah-rumah yang dibangun oleh
Bapak-bapak pendiri negeri ini."
Pintu keempat, jangan biarkan kaum kapitalis Yahudi menguasai bank
sentral. Ia bakal jadi "negara" dalam negara tuan rumah. Seperti
dikatakan pendiri dinasti Yahudi Rothschilds, Mayer Amschel Rothschilds
(1743-1812): "Berikan kepada saya kesempatan mencetak uang dan
mengendalikan keuangan suatu bangsa, maka dengan itu saya tidak akan
peduli dengan siapa yang membuat hukum di negeri itu".
Kelima, jangan terjebak utang IMF, yang dikuasai Yahudi. Penelitian yang
dilakukan Johnson dan Schaefer (1997) selama tahun 1965-1995
menunjukkan, perekonomian 48 dari 89 negara berkembang yang menerima
bantuan IMF tidak menjadi lebih maju.